Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan di Korea Selatan

SEMANGAT menjadi kata kunci yang membawa kebangkitan pendidikan Korea Selatan hingga siap bersaing dengan negara lain. Mereka mulai dengan membangun infrastruktur pendidikan yang luluh lantak akibat Perang Korea, lalu membenahi kualitasnya.

Kini di seantero Korea Selatan terdapat 19.258 sekolah negeri maupun swasta, dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dengan 11.951.298 pelajar. Di antaranya terdapat 218 perguruan tinggi, yang menampung 2.357.881 mahasiswa.

Secara tradisional orang Korea Selatan menekankan pentingnya pendidikan sebagai jalan untuk memuaskan diri sendiri dan juga untuk menunjukkan kemajuan sosial, dan kemajuan negaranya. Bertolak dari situ, Pemerintah Korea Selatan merumuskan tujuan pendidikan, yang dalam kalimat singkat dapat dituliskan sebagai berikut: Membangun karakter masyarakat, kemampuan hidup mandiri, menuju kemakmuran bersama berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan.

Apabila pendirian sekolah dijadikan titik awal pendidikan, maka sejarah pendidikan Korea Selatan bermula pada masa Kerajaan Goguryeo (37 SM-669), ketika sekolah formal pertama Taehak didirikan tahun 372. Jauh sebelumnya, tahun 286, Wang In dari Kerajaan Baekje (18 SM-660) telah menyebarluaskan buku-buku teks beraksara China sampai ke Jepang (Kerajaan Wae).

Sekolah modern diperkenalkan pada masa pemerintahan Raja Gojong, ditandai dengan pendirian Paichai Academy (1885) dan kemudian Ewha Girls School (1886). Kala itu di Indonesia tengah berkecamuk Perang Aceh (1874-1904).

Dari pemerintahan Raja Gojong, kemajuan pendidikan di Semenanjung Korea itu semakin pesat, hingga akhirnya datang Jepang menganeksasi Korea tahun 1910. Jepang keluar pada tahun 1945 menyusul penyerahannya kepada Sekutu dalam Perang Dunia II. Akan tetapi, tidak lama berselang, tahun 1950, pasukan Korea Utara di bawah penguasaan Uni Soviet menyerbu ke Korea Selatan.

Krisis demi krisis ternyata tidak menyurutkan semangat bangsa Korea Selatan untuk tetap menyelenggarakan pendidikan. Selama Perang Korea, mereka belajar tanpa kelas, duduk tanpa alas di atas tanah beratap langit. Papan tulis disangkutkan di pohon.

Orang Korea Selatan menggambarkan krisis dalam dua karakter China, bahaya di satu sisi dan kesempatan di sisi yang lain. Mereka mencoba mentransformasikan sisi bahaya dari krisis ke dalam kesempatan. Itulah yang sebetulnya dilakukan Korea Selatan dalam 40 tahun terakhir, menurut Lee Chong-jae, Presiden Korean Educational Development Institute (KEDI).

SISTEM pendidikan di Korea Selatan dibagi menjadi enam tahun sekolah dasar, tiga tahun sekolah menengah pertama, tiga tahun sekolah menengah atas, dan empat tahun perguruan tinggi. Selebihnya untuk jenjang pendidikan pascasarjana. Dengan demikian, orang Korea Selatan menghabiskan paling tidak 23 tahun dari usianya dalam pendidikan formal.

Seiring dengan didirikannya Republik Korea tahun 1948, pemerintah mulai menyusun sistem pendidikan modern. Lima tahun kemudian, 1953, pemerintah mewajibkan menyelesaikan sekolah dasar selama enam tahun pada usia antara 6 dan 11 tahun. Jumlah anak yang terdaftar pada tingkat dasar ini mencapai 99,8 persen, dan tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah. Tahun 2001 mulai diterapkan pendidikan wajib pada jenjang sekolah menengah.

Tidak berlebihan jika sekarang Korea Selatan dipuji sebagai salah satu negara yang angka melek hurufnya tertinggi di dunia. Dan ini menjadi fakta bahwa orang Korea Selatan yang berpendidikan menjadi modal utama utama percepatan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai negara itu selama tiga dekade silam.

Menteri Pendidikan dan Sumber Daya Manusia Korea Selatan Ahn Byung-young menjelaskan, tahun 2004 ini Pemerintah Korea Selatan menjabarkan tujuan pendidikan dalam tiga sasaran utama, yakni pengembangan sumber daya manusia, penguatan pada kesejahteraan pendidikan, serta pembangunan sistem desentralisasi dan reformasi daerah.

Pengembangan sumber daya manusia diyakini akan memperkuat negara itu memasuki persaingan di dunia internasional.

Melalui penguatan kesejahteraan pendidikan bisa diatasi kesenjangan pendidikan dan meningkatkan integrasi sosial. Sementara untuk memperluas pembangunan negara dan daya saing daerah yang merata, dipersiapkan desentralisasi sektor pendidikan dan reformasi sistem pendidikan daerah yang terarah.

Perguruan tinggi pun diberi peran dalam pengembangan pendidikan, melalui program "Brain Korea 21" atau BK21. Program ini bertujuan meningkatkan derajat sumber daya manusia Korea Selatan memasuki persaingan dalam komunitas internasional abad ke-21. Dimulai sejak tahun 1999 dan direncanakan berlangsung selama tujuh tahun, hingga tahun 2005. Melalui program ini pemerintah mengucurkan dana sebesar 1,4 triliun won (sekitar Rp 11,2 triliun), untuk mendanai perguruan tinggi dengan titik berat pada kegiatan penelitian. BK21 menjadi semacam unit riset unggulan dalam pendidikan tinggi Korea Selatan.

Pemerintah Korea Selatan memang tidak pelit mengeluarkan dana untuk sektor pendidikan. Tahun 2004, pendidikan mendapat 16,5 persen dari total anggaran negara. Dari budget itu, pendidikan dasar mendapat porsi terbesar dibandingkan dengan pendidikan tinggi.

Seiring dengan kebijakan pendidikan wajib yang diperpanjang menjadi sembilan tahun (sekolah dasar hingga sekolah menengah), pemerintah menjaring sumber dana tambahan dengan menarik pajak pendidikan daerah, pajak pendapatan, dan pajak konsumsi rokok.

DI balik kisah sukses pendidikan Korea Selatan, ada keresahan yang merebak di tengah masyarakat. Akibat persaingan yang ketat, setiap siswa berjuang sekuat tenaga untuk membuktikan kemampuannya menembus perguruan tinggi idaman. Materi pelajaran yang didapat di bangku sekolah dianggap masih kurang memadai sehingga dibutuhkan pelajaran tambahan melalui les privat.

Sebagaimana lazimnya dalam masyarakat Korea Selatan, pendidikan yang bermutu merupakan ambisi tertinggi, maka orangtua rela membayar berapa pun biaya demi keberhasilan anak-anaknya dalam pendidikan. Bahkan sering kali mereka mengorbankan waktu dan uang yang banyak demi memenangi persaingan ketat itu.

Menurut Lee, sebagian besar keluarga terpaksa mengeluarkan 1/3 pendapatannya untuk membiayai les privat anak-anaknya. Akibatnya, banyak keluarga yang frustrasi jika anaknya gagal dalam pendidikan, meski sang anak pun telah merelakan sebagian besar waktunya untuk belajar.

Upaya pemerintah mengatasi masalah itu dengan membuka saluran pendidikan di jaringan televisi pendidikan milik pemerintah, Educational Broadcasting System (EBS), agaknya belum dapat sepenuhnya membendung hasrat anak untuk mengikuti les privat. EBS menayangkan siaran pendidikan dengan berbagai materi pelajaran.

Lee menambahkan, pemerintah memahami bahwa masih panjang jalan yang harus ditempuh untuk menyempurnakan sistem pendidikan publik. Sementara tantangan semakin nyata di depan. Kata Lee lagi, "Kami menghadapi persaingan terutama di kawasan Timur Jauh. Jepang bermimpi akan lebih baik dari hari ini, China juga demikian. Maka kami pun harus berjuang keras."

Ada prinsip yang ditanamkan sejak kecil kepada orang-orang Korea Selatan agar selalu berada selangkah di depan.

"Ketika orang lain sedang tidur, kamu harus bangun. Ketika orang lain bangun, kamu harus berjalan. Ketika orang lain berjalan, kamu harus berlari. Dan ketika orang lain berlari, kamu harus terbang."

Search :


Berita Lainnya :

·

Jalan Menuju Melek Huruf

·

Terpuruk di Tengah Kompetisi

·

Moral dan Etika Sejak Dini

·

Saudara Muda yang Mencengangkan

·

Menyeruak di Antara Dua Saudara Tua

·

Pusat Keunggulan Menuju Negara Maju

·

Menghadapi Lingkungan Global

·

Ditata seperti Sebuah Orkestra

·

Memotret Selebriti dari Sudut Lain



3 komentar:

  1. Salam kenal vi3vY.
    Bisa gak dikirim tentang usaha pemerintah cina dalam menegembangkan pendidikan dengan korea selatan?

    BalasHapus
  2. maaf...lupa..bisa ntar kalo ada kirim ya ke zulfikriakhyar@ymail.com
    Makasih

    BalasHapus
  3. hi mba.. atikel ini dari buku atau apa mba? aku boleh minta sourcenya gak?

    BalasHapus